Beberapa waktu lalu sepat merhatiin anak SD yang lagi menulis. Corat coret, srreet, ‘ya salah’, sibuk nyari penghapus. Aku yang lagi ngelihat polah mereka jadi
ingat kisah pensil dan penghapus yang sudah melegenda di dunia maya itu.

P1 = Pensil, P2 = Penghapus

P1 : “Penghapus, ma’afkan aku ya” *pensil berbisik pelan*.

P2 : “Maaf? Untuk apa? Kamu tidak melakukan kesalahan apapun ” *penghapus sedikit terkejut dan heran*.

P1 : “Aku minta maaf, karena telah membuatmu terluka. Setiap kali aku melakukan kesalahan, kamu selalu siap untuk menghapusnya. Namun setiap kali melakukan itu, kesalahanku lenyap, tapi kamu harus kehilangan sebagian dari dirimu. Kamu menjadi semakin kecil dan kecil setiap saat

P2 : “Itu memang benar. Namun aku tidak pernah sekalipun merasa keberatan. Kau lihat, aku memang tercipta untuk melakukan hal itu. Tugasku lah untuk membantumu, setiap saat kau melakukan kesalahan. Walaupun suatu saat nanti, aku harus pergi dan kau akan mengganti diriku dengan yang baru. Tapi percayalah, aku bahagia dengan peran yang ku emban itu. Jadi tolong, kau tak perlu khawatir. Aku tak suka melihat mu bersedih begitu. Tersenyumlah

Kau tau kawans? Penghapus itu bisa di ibaratkan orangtua kita dan pensil itu adalah diri kita.

Ma’af

Orangtua akan selalu ada untuk anak-anaknya, memperbaiki kekeliruan yang di perbuat anak-anaknya. Namun kadang, sikap kita sebagai anak suka lupa.

Kita bertindak sesukanya dan berulang kali membuat kekeliruan yang sama. Tanpa kita sadari, itu membuat mereka terluka, membuat mereka kian hari merasa semakin ‘kecil’. Itu bisa saja memperdek usia mereka akibat goresan luka
bertumpuk-tumpuk dari sikap kita.

Akhirnya kita menemukan seseorang yang baru dalam hidup (istri atau suami). Walau bakal berpisah, orangtua tetap bahagia atas semua yang telah mereka lakukan. Mereka tetap cemas, risau dan tak suka kalau melihat buah hatinya bersedih atau mengkhawatirkan dirinya.

Sampai waktunya si pensil pun mengecil, dan habis. Kisah pun berulang. Yang tertinggal hanya ‘album’ rangkuman, untaian kata dalam bentuk tulisan, di sebuah buku yang bernama kenangan.

Seharusnya yang kita tinggalkan pada jejak di buku tulis bernama kenangan itu adalah sisi terbaik dari diri kita masing-masing. Tapi godaan warna warni dunia yang ada disekitar sangat sulit untuk di tepis.